عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman
itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai
enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA
ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian
dari iman." (HR Muslim).
Itulah
versi lengkapnya dari hadits yang sangat terkenal yaitu “menyingkirkan gangguan
dari jalan”. Makna sebenarnya kata adza adalah duri, sehingga banyak
orang memahami bahwa salah satu cara untuk mencerminkan keimanan adalah
menyingkirkan duri dari jalan. Supaya orang yang berlalu lalang setelah kita bisa
melewati jalan dengan lancar.
Pemahaman semacam ini kemudian berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan keadaan. Orang tidak lagi memaknai bahwa menyingkirkan duri dari jalan hanyalah membuang duri, batu, kerikil, kayu, paku, sampah dan sebagainya yang merintangi dan menghambat jalan. Karena esensi perbuatan tersebut adalah supaya jalan bisa dilalui dengan sebagaimana mestinya tanpa hambatan.
Sehingga, dikarenakan jalan yang ada pada masa Nabi berbeda dengan jalan yang ada saat ini, begitu juga alat/orang yang melintasinya juga berbeda maka menyingkirkan duri tidaklah cukup untuk membuat perjalanan lancar. Contohnya saja di daerah Lampung Timur yang sedang terkenal dengan wisata “jeglongan sewu” (seribu lubang), di sana menempuh jarak beberapa kilo saja membutuhkan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan jalan yang digunakan sebagai media transportasi banyak yang berlubang sesuai dengan plesetannya, sekaligus sindiran kepada pemerintah karena keadaan jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
Pemahaman semacam ini kemudian berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan keadaan. Orang tidak lagi memaknai bahwa menyingkirkan duri dari jalan hanyalah membuang duri, batu, kerikil, kayu, paku, sampah dan sebagainya yang merintangi dan menghambat jalan. Karena esensi perbuatan tersebut adalah supaya jalan bisa dilalui dengan sebagaimana mestinya tanpa hambatan.
Sehingga, dikarenakan jalan yang ada pada masa Nabi berbeda dengan jalan yang ada saat ini, begitu juga alat/orang yang melintasinya juga berbeda maka menyingkirkan duri tidaklah cukup untuk membuat perjalanan lancar. Contohnya saja di daerah Lampung Timur yang sedang terkenal dengan wisata “jeglongan sewu” (seribu lubang), di sana menempuh jarak beberapa kilo saja membutuhkan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan jalan yang digunakan sebagai media transportasi banyak yang berlubang sesuai dengan plesetannya, sekaligus sindiran kepada pemerintah karena keadaan jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
Keadaan
jalan yang seperti ini jelas telah berkurang kemampuannya untuk memudahkan
orang dalam bepergian. Sehingga bisa disamakan dengan keadaan “jalan yang
berduri” karena sama-sama memperlambat pengguna jalan. Kalau dilihat sekilas
mungkin hadits ini tidak relevan dengan realitas yang ada. Namun bila kata
“menyingkiran duri” diganti dengan menambal jalan dengan pasir, memperbaikinya,
membuat tanda lingkaran di lubang, menancapkan batang pisang, atau dengan cara
terbaru dengan membuat tulisan “selamat datang di obyek wisata Jeglongan sewu”
kemudian di-upload di medsos sehingga pemerintah langsung turun tangan, maka hadits
ini akan terasa up to date. Karena kelancaran melewati jalan tersebut
bisa terwujud.
Pemaknaan
hadits di atas adalah melihat illat dari kata “menyingkirkan duri”.
Namun saya memiliki pengertian kalau yang bisa di-qiyas-kan (dianalogikan)
tidak hanya kata itu, melainkan kata lain yaitu thariq (jalan).
Thariq
memiliki
makna yang sama dengan shirat. Makna aslinya adalah menelan, karena jalan
seakan-akan menelan orang yang melintasinya. Dalam tafsir kontemporer Rawa’i
al-Bayan, Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa makna shirat dalam surat
al-Baqarah ayat 6 adalah setiap perkataan, perbuatan, sifat, yang dilakukan
dengan istiqamah yaitu agama Islam
Kembali
ke pembahasan hadits, maka pemahaman saya dari hadits ini adalah menyingkirkan
atau melawan orang yang membuat Islam terganggu. Sehingga apabila orang-orang
ini di-mahdzuf (dibuang) maka orang yang menggunakan Islam akan selamat
sampai tujuannya. Sehingga Islam akan tetap optimal lagi keberadaannya.
Kalau
dilihat dari masa sekarang, “duri-duri” yang tergeletak menancap di Islam
adalah orang-orang munafik dan musuh Islam. Merekalah yang membuat kemacetan
aqidah dan kecelakaan berIslam. Hambatan yang disebabkan mereka sangat
meresahkan orang yang berIslam dengan sebenarnya.
Untuk
itu, sebagai pengamalan hadits riwayat Muslim ini, kita tunjukkan bahwa Iman
Umat Islam belum mati. Kita singkirkan duri-duri yang melintang di atas
perjuangan Umat Islam. Kita dukung Ulama-Ulama yang dengan teguh menyapu duri
tersebut meski seringkali durinya melukai bahkan menjadi ranjau.
Sudah
terang siapa yang berperan sebagai duri dan siapa yang berperan sebagai Umat
Islam. Meskipun duri ini bukan duri biasa karena memiliki pondasi kuat berskala
Nasional, kita tetap berusaha dan bersatu. Meskipun yang hanya kita lakukan
adalah membuka duri yang tertutup daun.
Gunakanlah
medsos kalian untuk melawan para pengganggu ini. Bela Islam dan Ulama sejauh
batas kemampuan kalian. Bantai buzzer-buzzer yang bergentayangan
di FB, Instagram, Youtube, dan lain-lain.
Sehingga
pada akhirnya jalan (Islam) akan tetap bersih untuk dilalui menuju keridhoan
Allah. Itulah Iman.
Mengalir. Makin lancar nulisnya!
ReplyDeleteAlhamdulillah.. nanti aing mau konsultasi (minta saran nding) . Masalah penting. Haha
ReplyDelete