Pages

Friday, 10 February 2017

Menyingkirkan duri dari jalan? Upgrade!




عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman."  (HR Muslim).

Itulah versi lengkapnya dari hadits yang sangat terkenal yaitu “menyingkirkan gangguan dari jalan”. Makna sebenarnya kata adza adalah duri, sehingga banyak orang memahami bahwa salah satu cara untuk mencerminkan keimanan adalah menyingkirkan duri dari jalan. Supaya orang yang berlalu lalang setelah kita bisa melewati jalan dengan lancar.

Pemahaman semacam ini kemudian berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan keadaan. Orang tidak lagi memaknai bahwa menyingkirkan duri dari jalan  hanyalah membuang duri, batu, kerikil, kayu, paku, sampah dan sebagainya yang merintangi dan menghambat jalan. Karena esensi perbuatan tersebut adalah supaya jalan bisa dilalui dengan sebagaimana mestinya tanpa hambatan.

Sehingga, dikarenakan jalan yang ada pada masa Nabi berbeda dengan jalan yang ada saat ini, begitu juga alat/orang yang melintasinya juga berbeda maka menyingkirkan duri tidaklah cukup untuk membuat perjalanan lancar. Contohnya saja di daerah Lampung Timur yang sedang terkenal dengan wisata “jeglongan sewu” (seribu lubang), di sana menempuh jarak beberapa kilo saja membutuhkan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan jalan yang digunakan sebagai media transportasi banyak yang berlubang sesuai dengan plesetannya, sekaligus sindiran kepada pemerintah karena keadaan jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
        Keadaan jalan yang seperti ini jelas telah berkurang kemampuannya untuk memudahkan orang dalam bepergian. Sehingga bisa disamakan dengan keadaan “jalan yang berduri” karena sama-sama memperlambat pengguna jalan. Kalau dilihat sekilas mungkin hadits ini tidak relevan dengan realitas yang ada. Namun bila kata “menyingkiran duri” diganti dengan menambal jalan dengan pasir, memperbaikinya, membuat tanda lingkaran di lubang, menancapkan batang pisang, atau dengan cara terbaru dengan membuat tulisan “selamat datang di obyek wisata Jeglongan sewu” kemudian di-upload di medsos sehingga pemerintah langsung turun tangan, maka hadits ini akan terasa up to date. Karena kelancaran melewati jalan tersebut bisa terwujud.

Pemaknaan hadits di atas adalah melihat illat dari kata “menyingkirkan duri”. Namun saya memiliki pengertian kalau yang bisa di-qiyas-kan (dianalogikan) tidak hanya kata itu, melainkan kata lain yaitu thariq (jalan).

Thariq memiliki makna yang sama dengan shirat. Makna aslinya adalah menelan, karena jalan seakan-akan menelan orang yang melintasinya. Dalam tafsir kontemporer Rawa’i al-Bayan, Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa makna shirat dalam surat al-Baqarah ayat 6 adalah setiap perkataan, perbuatan, sifat, yang dilakukan dengan istiqamah yaitu agama Islam

Kembali ke pembahasan hadits, maka pemahaman saya dari hadits ini adalah menyingkirkan atau melawan orang yang membuat Islam terganggu. Sehingga apabila orang-orang ini di-mahdzuf (dibuang) maka orang yang menggunakan Islam akan selamat sampai tujuannya. Sehingga Islam akan tetap optimal lagi keberadaannya.

Kalau dilihat dari masa sekarang, “duri-duri” yang tergeletak menancap di Islam adalah orang-orang munafik dan musuh Islam. Merekalah yang membuat kemacetan aqidah dan kecelakaan berIslam. Hambatan yang disebabkan mereka sangat meresahkan orang yang berIslam dengan sebenarnya.

Untuk itu, sebagai pengamalan hadits riwayat Muslim ini, kita tunjukkan bahwa Iman Umat Islam belum mati. Kita singkirkan duri-duri yang melintang di atas perjuangan Umat Islam. Kita dukung Ulama-Ulama yang dengan teguh menyapu duri tersebut meski seringkali durinya melukai bahkan menjadi ranjau.

Sudah terang siapa yang berperan sebagai duri dan siapa yang berperan sebagai Umat Islam. Meskipun duri ini bukan duri biasa karena memiliki pondasi kuat berskala Nasional, kita tetap berusaha dan bersatu. Meskipun yang hanya kita lakukan adalah membuka duri yang tertutup daun.

Gunakanlah medsos kalian untuk melawan para pengganggu ini. Bela Islam dan Ulama sejauh batas kemampuan kalian. Bantai buzzer-buzzer yang bergentayangan di FB, Instagram, Youtube, dan lain-lain.

Sehingga pada akhirnya jalan (Islam) akan tetap bersih untuk dilalui menuju keridhoan Allah. Itulah Iman.

Thursday, 12 January 2017

tugas kuliah

buat temen-teman yang mau takhrij hadits. hadits anjuran memakai baju putih bisa diklik di sini download

book report. Berita Resmi Muhammadiyah 2010-2015 bisa diklik di sini downloadnya ini lho

ini. ringkasan ilmu rijal. buat sistematisasi aja. klik download 

Sunday, 8 January 2017

Percakapan Ringan Seputar Kalender Global (1)



Matahari hampir bersua dengan ufuk ketika dua orang yang dikenal adalah sahabat dekat sedang bersantai nongkrong di sebuah angkringan di dekat asrama mahasiswa. Sebut saja yang satu bernama “lelaki biasa” dan “satunya “lelaki pejuang”. Di tengah sedapnya menyeduh susu jahe terlintas di benak lelaki biasa mengenai kalender Islam (hijriyah) yang seringkali memiliki dua tanggal dalam satu hari yang sama.
LB (lelaki biasa): bro, kemarin waktu lebaran di Kampung masjid tetangga kok sholat id-nya duluan ya
LP (lelaki pejuang): lebarannya beda hari maksudnya?
LB: iya, sini masih puasa, masjid sana malah dah sholat id. Gak puasa lagi. Kan ngiri.,
LP: lho, malah ngirinya karena mau gak puasa. Gini lho, lebarannya beda, karena masing-masing menetapkan tanggal 1 Syawwalnya berbeda.
LB: kok gak kayak masehi, yang kalo senin tanggal 5, di mana-mana ya tanggal 5?
LP: beda bro penanggalannya. Kalo masehi kan pergantian hari waktu jam 12 malam. Nah, kalo hijriyah mulai maghrib pergantian harinya.
LB: oh, gitu. Terus kok bisa beda, kan waktu maghrib di mana-mana sama, pas matahari tenggelam. Jadi harusnya ya ganti harinya sama.
LP: iya, kalo maghrib memang sama semua. Udah ada jadwalnya malah. Tapi kalo untuk ganti hari, tidak hanya waktu maghrib yang dilihat. Tapi posisi bulannya juga dilihat, terus dilihat apakah bulan udak ijtimak atau belum
LB: kok ribet ya. Hehe,. Pantes klo sidang isbat makan banyak waktu
LP: gak Cuma makan waktu kali, makan nasi padang, gado-gado, pisang goreng, Indomie juga malah. Kan rapat tanpa konsumsi ibarat motor gak ada bensin. Gak jalan. Haha
LB: haha, iya juga..
LP: tapi sebenernya, simpel lho bro kalo penentuannya gak pake acara isbat-isbat an gitu
LB: lho, emang bisa?
LP: bisa lah. Kalo tanggalnya serentak. Satu hari satu tanggal, kan gak perlu ada acara begituan. Jadi udah tinggal takbiran aja klo di kalender besok tanggal satu.
LB: iya ya, gak kepikiran aku, tapi selama ini emang gak ada kalender hijriyah. Kayaknya ada deh
LP: memang ada, tapi itu cuma kelender lokal. Artinya, tiap daerah punya kalender Hijriyahnya masing-masing. Kayak kalender Ummul Qura, Kalender Malaysia, Kalender Muhammadiyah, kalender NU, dan banyak lagi.
LB: oalah, pantesan lebarannya beda. Kalendernya aja punya sendiri-sendiri
LP: nah, betul betul betul. Haha.
LB: terus yang katamu kalender serentak itu gimana?
LP: itu gini bro. Namanya kalender global. Jadi nanti kalau di Indonesia hari sabtu itu tanggal satu, maka di Afrika, Brazil, New Zealand juga harus tanggal satu.
LB: oalah. Caranya gimana itu?
LP: sebelumnya gini, kujelaskan singkat aja ya. Prinsipnya, untuk membuat kalender global ada lima. Pertama harus menerima hisab dan meninggalkan rukyat fikliah. Karena, rukyat kan yang mengintip bulan tiap tanggal tua bro. Jadi ndak mungkin bisa membuat kalender memakai rukyat. Jangankan global, kalender lokal aja gak bisa.
LB: oh, tapi denger-denger dari pengajian klo menentukan hari kan haditsnya pake rukyat bukan hisab. Itu gimana?
LP: nah, itu nanti ada yang namanya peralihan dari rukyat ke hisab bro. Kita memakai teori perubahan hukum dalam ushul fiqh. Yang bunyi artinya gini, “Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan”. Jadi metode penentuan awal bulan bisa dialihkan dari rukyat ke hisab.
LB; tunggu bro, sambil mencerna teori itu, mau mencerna gorengan dulu. Biarnya otak gak panas. Hehe
LP: oke., aku juga mau nyari kripik level 10 ini. Hehe
LB: tapi bro, kan gak asal mindah-mindah hukum gitu.
LP: iya, ada syaratnya. Ada tuntutan untuk berubah, ketentuan hukum yang berubah itu tidak menyangkut substansi ibadah mahdah, ketentuan hukum itu bukan hukum qat’i, sama hukum baru harus berlandaskan syar’i. Nah klo yang pertama jelas ada keperluan untuk berubah. Soalnya hisab untuk ibadah. Misal nanti bisa sama tanggal 9 zulhijjah di makkah sama di Indonesia, klo beda kan repot. Di sana udah wukuf di sini baru tanggal 8. Terus kedua, karena rukyat itu bukan ibadah mahdah, yang ibadah itu puasanya bukan rukyatnya. Ketiga, rukyat bukan qat’i, terus terakhir menggunakan hisab berdasarkan dalil syar’i juga. Jadi sah bila kita beralih dari rukyat ke hisab.
LB: ooh, udah sedikit paham aku. Terus pinsip kalender global yang lain apa?
LP: klo empat yang lain ada transfer imkanu rukyat, kesatuan matlak, keselarasan hari dan tanggal, sama penerimaan garis tanggal Internasional. Tapi besok besok aja ya penjelasannya, udah mau adzan maghrib ni. Pokoknya dengan kalender global nanti, kita umat Islam bisa punya kalender yang baku, yang paten, biar gak kalah sama kalender Masehi.
LB: ooh, oke oke. Yuk bali Jam
LP: oke Zam. Jangan lupa bayar gorenganmu. haha