penulis biasa
Wednesday, 22 November 2017
Sunday, 5 November 2017
Friday, 10 February 2017
Menyingkirkan duri dari jalan? Upgrade!
عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ
شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman
itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai
enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA
ILLALLAHU (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian
dari iman." (HR Muslim).
Itulah
versi lengkapnya dari hadits yang sangat terkenal yaitu “menyingkirkan gangguan
dari jalan”. Makna sebenarnya kata adza adalah duri, sehingga banyak
orang memahami bahwa salah satu cara untuk mencerminkan keimanan adalah
menyingkirkan duri dari jalan. Supaya orang yang berlalu lalang setelah kita bisa
melewati jalan dengan lancar.
Pemahaman semacam ini kemudian berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan keadaan. Orang tidak lagi memaknai bahwa menyingkirkan duri dari jalan hanyalah membuang duri, batu, kerikil, kayu, paku, sampah dan sebagainya yang merintangi dan menghambat jalan. Karena esensi perbuatan tersebut adalah supaya jalan bisa dilalui dengan sebagaimana mestinya tanpa hambatan.
Sehingga, dikarenakan jalan yang ada pada masa Nabi berbeda dengan jalan yang ada saat ini, begitu juga alat/orang yang melintasinya juga berbeda maka menyingkirkan duri tidaklah cukup untuk membuat perjalanan lancar. Contohnya saja di daerah Lampung Timur yang sedang terkenal dengan wisata “jeglongan sewu” (seribu lubang), di sana menempuh jarak beberapa kilo saja membutuhkan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan jalan yang digunakan sebagai media transportasi banyak yang berlubang sesuai dengan plesetannya, sekaligus sindiran kepada pemerintah karena keadaan jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
Pemahaman semacam ini kemudian berkembang sesuai dengan berubahnya zaman dan keadaan. Orang tidak lagi memaknai bahwa menyingkirkan duri dari jalan hanyalah membuang duri, batu, kerikil, kayu, paku, sampah dan sebagainya yang merintangi dan menghambat jalan. Karena esensi perbuatan tersebut adalah supaya jalan bisa dilalui dengan sebagaimana mestinya tanpa hambatan.
Sehingga, dikarenakan jalan yang ada pada masa Nabi berbeda dengan jalan yang ada saat ini, begitu juga alat/orang yang melintasinya juga berbeda maka menyingkirkan duri tidaklah cukup untuk membuat perjalanan lancar. Contohnya saja di daerah Lampung Timur yang sedang terkenal dengan wisata “jeglongan sewu” (seribu lubang), di sana menempuh jarak beberapa kilo saja membutuhkan waktu yang lama. Hal itu dikarenakan jalan yang digunakan sebagai media transportasi banyak yang berlubang sesuai dengan plesetannya, sekaligus sindiran kepada pemerintah karena keadaan jalan itu sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.
Keadaan
jalan yang seperti ini jelas telah berkurang kemampuannya untuk memudahkan
orang dalam bepergian. Sehingga bisa disamakan dengan keadaan “jalan yang
berduri” karena sama-sama memperlambat pengguna jalan. Kalau dilihat sekilas
mungkin hadits ini tidak relevan dengan realitas yang ada. Namun bila kata
“menyingkiran duri” diganti dengan menambal jalan dengan pasir, memperbaikinya,
membuat tanda lingkaran di lubang, menancapkan batang pisang, atau dengan cara
terbaru dengan membuat tulisan “selamat datang di obyek wisata Jeglongan sewu”
kemudian di-upload di medsos sehingga pemerintah langsung turun tangan, maka hadits
ini akan terasa up to date. Karena kelancaran melewati jalan tersebut
bisa terwujud.
Pemaknaan
hadits di atas adalah melihat illat dari kata “menyingkirkan duri”.
Namun saya memiliki pengertian kalau yang bisa di-qiyas-kan (dianalogikan)
tidak hanya kata itu, melainkan kata lain yaitu thariq (jalan).
Thariq
memiliki
makna yang sama dengan shirat. Makna aslinya adalah menelan, karena jalan
seakan-akan menelan orang yang melintasinya. Dalam tafsir kontemporer Rawa’i
al-Bayan, Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa makna shirat dalam surat
al-Baqarah ayat 6 adalah setiap perkataan, perbuatan, sifat, yang dilakukan
dengan istiqamah yaitu agama Islam
Kembali
ke pembahasan hadits, maka pemahaman saya dari hadits ini adalah menyingkirkan
atau melawan orang yang membuat Islam terganggu. Sehingga apabila orang-orang
ini di-mahdzuf (dibuang) maka orang yang menggunakan Islam akan selamat
sampai tujuannya. Sehingga Islam akan tetap optimal lagi keberadaannya.
Kalau
dilihat dari masa sekarang, “duri-duri” yang tergeletak menancap di Islam
adalah orang-orang munafik dan musuh Islam. Merekalah yang membuat kemacetan
aqidah dan kecelakaan berIslam. Hambatan yang disebabkan mereka sangat
meresahkan orang yang berIslam dengan sebenarnya.
Untuk
itu, sebagai pengamalan hadits riwayat Muslim ini, kita tunjukkan bahwa Iman
Umat Islam belum mati. Kita singkirkan duri-duri yang melintang di atas
perjuangan Umat Islam. Kita dukung Ulama-Ulama yang dengan teguh menyapu duri
tersebut meski seringkali durinya melukai bahkan menjadi ranjau.
Sudah
terang siapa yang berperan sebagai duri dan siapa yang berperan sebagai Umat
Islam. Meskipun duri ini bukan duri biasa karena memiliki pondasi kuat berskala
Nasional, kita tetap berusaha dan bersatu. Meskipun yang hanya kita lakukan
adalah membuka duri yang tertutup daun.
Gunakanlah
medsos kalian untuk melawan para pengganggu ini. Bela Islam dan Ulama sejauh
batas kemampuan kalian. Bantai buzzer-buzzer yang bergentayangan
di FB, Instagram, Youtube, dan lain-lain.
Sehingga
pada akhirnya jalan (Islam) akan tetap bersih untuk dilalui menuju keridhoan
Allah. Itulah Iman.
Thursday, 12 January 2017
tugas kuliah
buat temen-teman yang mau takhrij hadits. hadits anjuran memakai baju putih bisa diklik di sini download
book report. Berita Resmi Muhammadiyah 2010-2015 bisa diklik di sini downloadnya ini lho
ini. ringkasan ilmu rijal. buat sistematisasi aja. klik download
book report. Berita Resmi Muhammadiyah 2010-2015 bisa diklik di sini downloadnya ini lho
ini. ringkasan ilmu rijal. buat sistematisasi aja. klik download
Sunday, 8 January 2017
Percakapan Ringan Seputar Kalender Global (1)
Matahari hampir bersua dengan ufuk ketika dua orang yang dikenal
adalah sahabat dekat sedang bersantai nongkrong di sebuah angkringan di
dekat asrama mahasiswa. Sebut saja yang satu bernama “lelaki biasa” dan “satunya
“lelaki pejuang”. Di tengah sedapnya menyeduh susu jahe terlintas di benak
lelaki biasa mengenai kalender Islam (hijriyah) yang seringkali memiliki dua
tanggal dalam satu hari yang sama.
LB
(lelaki biasa): bro, kemarin waktu lebaran di Kampung masjid tetangga kok
sholat id-nya duluan ya
LP (lelaki
pejuang): lebarannya beda hari maksudnya?
LB:
iya, sini masih puasa, masjid sana malah dah sholat id. Gak puasa lagi. Kan
ngiri.,
LP:
lho, malah ngirinya karena mau gak puasa. Gini lho, lebarannya beda, karena
masing-masing menetapkan tanggal 1 Syawwalnya berbeda.
LB:
kok gak kayak masehi, yang kalo senin tanggal 5, di mana-mana ya tanggal 5?
LP:
beda bro penanggalannya. Kalo masehi kan pergantian hari waktu jam 12 malam.
Nah, kalo hijriyah mulai maghrib pergantian harinya.
LB:
oh, gitu. Terus kok bisa beda, kan waktu maghrib di mana-mana sama, pas
matahari tenggelam. Jadi harusnya ya ganti harinya sama.
LP: iya,
kalo maghrib memang sama semua. Udah ada jadwalnya malah. Tapi kalo untuk ganti
hari, tidak hanya waktu maghrib yang dilihat. Tapi posisi bulannya juga
dilihat, terus dilihat apakah bulan udak ijtimak atau belum
LB:
kok ribet ya. Hehe,. Pantes klo sidang isbat makan banyak waktu
LP:
gak Cuma makan waktu kali, makan nasi padang, gado-gado, pisang goreng, Indomie
juga malah. Kan rapat tanpa konsumsi ibarat motor gak ada bensin. Gak jalan.
Haha
LB:
haha, iya juga..
LP:
tapi sebenernya, simpel lho bro kalo penentuannya gak pake acara isbat-isbat an
gitu
LB:
lho, emang bisa?
LP:
bisa lah. Kalo tanggalnya serentak. Satu hari satu tanggal, kan gak perlu ada
acara begituan. Jadi udah tinggal takbiran aja klo di kalender besok tanggal
satu.
LB:
iya ya, gak kepikiran aku, tapi selama ini emang gak ada kalender hijriyah.
Kayaknya ada deh
LP:
memang ada, tapi itu cuma kelender lokal. Artinya, tiap daerah punya kalender
Hijriyahnya masing-masing. Kayak kalender Ummul Qura, Kalender Malaysia,
Kalender Muhammadiyah, kalender NU, dan banyak lagi.
LB: oalah,
pantesan lebarannya beda. Kalendernya aja punya sendiri-sendiri
LP:
nah, betul betul betul. Haha.
LB:
terus yang katamu kalender serentak itu gimana?
LP: itu
gini bro. Namanya kalender global. Jadi nanti kalau di Indonesia hari sabtu itu
tanggal satu, maka di Afrika, Brazil, New Zealand juga harus tanggal satu.
LB: oalah.
Caranya gimana itu?
LP: sebelumnya
gini, kujelaskan singkat aja ya. Prinsipnya, untuk membuat kalender global ada
lima. Pertama harus menerima hisab dan meninggalkan rukyat fikliah. Karena,
rukyat kan yang mengintip bulan tiap tanggal tua bro. Jadi ndak mungkin bisa membuat
kalender memakai rukyat. Jangankan global, kalender lokal aja gak bisa.
LB:
oh, tapi denger-denger dari pengajian klo menentukan hari kan haditsnya pake
rukyat bukan hisab. Itu gimana?
LP: nah,
itu nanti ada yang namanya peralihan dari rukyat ke hisab bro. Kita memakai
teori perubahan hukum dalam ushul fiqh. Yang bunyi artinya gini, “Tidak
diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman, tempat, dan keadaan”. Jadi
metode penentuan awal bulan bisa dialihkan dari rukyat ke hisab.
LB;
tunggu bro, sambil mencerna teori itu, mau mencerna gorengan dulu. Biarnya otak
gak panas. Hehe
LP:
oke., aku juga mau nyari kripik level 10 ini. Hehe
LB: tapi
bro, kan gak asal mindah-mindah hukum gitu.
LP:
iya, ada syaratnya. Ada tuntutan untuk berubah, ketentuan hukum yang berubah
itu tidak menyangkut substansi ibadah mahdah, ketentuan hukum itu bukan hukum
qat’i, sama hukum baru harus berlandaskan syar’i. Nah klo yang pertama jelas
ada keperluan untuk berubah. Soalnya hisab untuk ibadah. Misal nanti bisa sama
tanggal 9 zulhijjah di makkah sama di Indonesia, klo beda kan repot. Di sana
udah wukuf di sini baru tanggal 8. Terus kedua, karena rukyat itu bukan ibadah
mahdah, yang ibadah itu puasanya bukan rukyatnya. Ketiga, rukyat bukan qat’i,
terus terakhir menggunakan hisab berdasarkan dalil syar’i juga. Jadi sah bila
kita beralih dari rukyat ke hisab.
LB:
ooh, udah sedikit paham aku. Terus pinsip kalender global yang lain apa?
LP:
klo empat yang lain ada transfer imkanu rukyat, kesatuan matlak, keselarasan
hari dan tanggal, sama penerimaan garis tanggal Internasional. Tapi besok besok
aja ya penjelasannya, udah mau adzan maghrib ni. Pokoknya dengan kalender
global nanti, kita umat Islam bisa punya kalender yang baku, yang paten, biar
gak kalah sama kalender Masehi.
LB:
ooh, oke oke. Yuk bali Jam
LP:
oke Zam. Jangan lupa bayar gorenganmu. haha
Friday, 23 December 2016
Buktikan cintamu tak sekedar cinta ayam!
Cinta, suatu kajian kuno yang telah banyak ditelaah dan dikaji
bahkan dirasakan seluruh makhluk di dunia ini.
Mulai
dari pendekatan teologis cinta yang akhirnya membuahkan konsep mahabbah ila
Allah-nya Rabi’atul Adawiyah. Sampai pendekatan cocokologi ala weton
Jawa yang menyatukan dua insan berdasarkan hari dan pasaran kelahiran. Semua
menafsirkan cinta sesuka hati mereka.
Cinta
bukanlah suatu hal mewah yang hanya bisa dinikmati oleh para pangeran dan putri
kerajaan. Melainkan cinta adalah hal yang sangat murah, saking receh-nya hewan
pun juga memilikinya. Gak percaya? Nyatanya ada cinta monyet (dalam artian
memang monyet sebenarnya).
Oleh
sebab itu, menjadi seorang ilmuan bukanlah syarat agar kita (para jomblo)
mendapatkan cinta. Toh banyak ilmuan yang pada akhirnya tidak menemukan cinta
sejatinya, sebut saja imam an-Nawawi.
Tapi
jangan salah. Imam an-Nawawi seperti itu karena cintanya tidak diberikan kepada
seorang wanita yang fana. Tetapi cintanya ditujukan kepada Sang Maha Cinta
sekaligus meminta cinta sejati di akhirat nanti.
Itulah
kenapa cinta tak harus selalu diartikan sebagai curahan perasaan kepada lawan
jenis. Buktinya tadi, yang mendapatkan cinta dari Imam an-Nawawi adalah Buku
dan Ilmu pengetahuan.
Istilah
yang tepat menurutku untuk cinta adalah sederhana lagi eksklusif. Emang
bisa disatukan kedua istilah itu? Nanti jadinya kontradiktif lagi. Bisalah!
Kita menggunakan konsep puritan lagi dinamis-nya Muhammadiyah.
Puritan
adalah memurnikan ajaran Islam sehingga kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan Dinamis adalah menjadikan agama Islam sebagai ajaran yang tak lekang
oleh waktu, bahkan mampu maju jauh ke depan. Puritan berusaha mengambalikan
lagi ke belakang, sedangkan dinamis berusaha membawa ke depan. Nah, nyatanya
keduanya bisa disatukan. Padahal depan dan belakang adalah arah yang berlawanan
seperti timur dan barat.
Sederhananya
cinta adalah sikap naluri atau sering disebut fitrah manusia yang akan
datang kepada siapapun. Suatu sifat yang menandakan kelemahan manusia tanpa
adanya seorang pedamping. Sehingga, siapapun orangnya pasti akan memiliki
ketertarikan kepada lawan jenis. Sudah kugaris bawahi lho. Jadi yang
cintanya sesama jenis, ENYAHLAH! Itu nafsu, bukan cinta. You have no power
here!!! Dasar YARA!
Saking
sederhananya cinta, seseorang akan jatuh cinta dala tempo 6 detik saja. Bahkan
menurut penelitian ada yang lebih cepat dari itu. Itulah yang sering dikenal
cinta pada padangan pertama.
Dari
mata turun ke hati, dari hati naik lagi turunlah air mata. Wait., bukan. Tapi
Air mata kegembiraan maksudnya.
Kemudian
setelah manusia mendapat kesederhanan cinta. Barulah kita eksklusifk-kan cinta
agar membedakan dengan cintanya makhluk lain. Iya, kalau tidak eksklusif sama
nanti cinta manusia dengan hewan.
Misal
saja ayam jago, yang jika cinta asal langsung mepet-mepet menclok ke babon,
atau kucing yang langsung mengejar menggigit leher si betina. Sederhana memang,
namun tidak eksklusif.
Itulah
kenapa tidak ada salahnya menyamakan orang yang asal “hubungan” demi
mengungkapkan cinta tanpa melakukan ikatan pernikahan dengan makhluk-makhluk
tadi. Toh sama-sama sederhana banget cintanya.
Makannya, aku kurang setuju dengan pernyataan
Sujiwo Tejo yang mengatakan kalau cinta tidak butuh alasan. Kalau ada alasannya
bukan cinta namanya.
Argumen
ini kubantah. Jelas, masak cinta manusia disamakan dengan cintanya ayam.
Primitif sekali. Ndak bisa manusia mencintai tanpa alasan. Pun, apabila ia
cinta pada pandangan pertama yang tanpa alasan, ia harus mencari alasan yang
mampu menjawab kenapa ia jatuh cinta.
Bahtahanku
bukan sekedar logika perbedaan jago dan lelaki, namun kujawab dengan perkataan
baginda Nabi. Lha jelas-jelas nabi memerintahkan untuk memilih wanita
berdasarkan empat hal kok. Cantik, harta, keturunan, dan agama. Artinya
bagaimanapun caranya cinta haruslah ada alasannya minimal agama, bagus lagi
kalau ditambah dari tiga yang lain.
Itulah
langkah selanjutnya, eksklusifnya adalah memilih alasan cinta tadi. Lalu
setelah dua hal terpenuhi di atas, Itu baru dinamakan cinta ala manusia biasa.
Dari sini sudah berbeda cintanya manusia
dan makhluk lain.
Untuk
meng-eksklusif-kan lagi bagaimana? Nikahlah dan jalankan keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah sesuai kehidupan
keluarga Nabi. Nanti cinta kalian menjadi super eksklusif.
Paragraf
di atas bukan penetitian pribadi maupun pengalaman. Soalnya yang nulis
boro-boro nikah lha wong masih jomblo kok.
:v
Jadi,
biarkan cinta datang kepada kalian dengan cara yang paling sederhana, namun
setelah itu ubahlah menjadi eksklusif dengan tuntunan Rasulullah. Sederhana
lagi eksklusif.
Itulah
istilah ala kadarnya buatan seorang hamba yang bahkan belum diberikan cinta.
Jadi akan terasa lancang apabila lebih jauh lagi menasehati tapi tidak
mengamalkannya. Nanti jatuhnya taqulu ma la taf’alun lagi.
Kenapa tiba-tiba menulis tentang cinta padahal yang nulis mendapatkan
cinta primitif-pun belum?
Bukan
karena apa-apa ya, tapi karena tiba-tiba aja dapet buku yang judulnya “Ya Allah
Aku Jatuh Cinta” (belum kubaca, baru 10 halaman udah susah bacanya. Hehe,.,
jomblo, berandai-andai pula nanti). Buku ini dikasih ustadzah, soale aku juga
gak suka beli buku romantis-romantis gini. Mending beli manga. Haha.
Kesimpulannya:
Itu, baca judulnya lagi. Judul kubuat sebagai kesimpulan sekaligus persuasifikasi.
Subscribe to:
Posts (Atom)