Pages

Friday, 23 December 2016

Buktikan cintamu tak sekedar cinta ayam!




Cinta, suatu kajian kuno yang telah banyak ditelaah dan dikaji bahkan dirasakan seluruh makhluk di dunia ini.


Mulai dari pendekatan teologis cinta yang akhirnya membuahkan konsep mahabbah ila Allah-nya Rabi’atul Adawiyah. Sampai pendekatan cocokologi ala weton Jawa yang menyatukan dua insan berdasarkan hari dan pasaran kelahiran. Semua menafsirkan cinta sesuka hati mereka.


Cinta bukanlah suatu hal mewah yang hanya bisa dinikmati oleh para pangeran dan putri kerajaan. Melainkan cinta adalah hal yang sangat murah, saking receh-nya hewan pun juga memilikinya. Gak percaya? Nyatanya ada cinta monyet (dalam artian memang monyet sebenarnya).


Oleh sebab itu, menjadi seorang ilmuan bukanlah syarat agar kita (para jomblo) mendapatkan cinta. Toh banyak ilmuan yang pada akhirnya tidak menemukan cinta sejatinya, sebut saja imam an-Nawawi.


Tapi jangan salah. Imam an-Nawawi seperti itu karena cintanya tidak diberikan kepada seorang wanita yang fana. Tetapi cintanya ditujukan kepada Sang Maha Cinta sekaligus meminta cinta sejati di akhirat nanti.


Itulah kenapa cinta tak harus selalu diartikan sebagai curahan perasaan kepada lawan jenis. Buktinya tadi, yang mendapatkan cinta dari Imam an-Nawawi adalah Buku dan Ilmu pengetahuan.


Istilah yang tepat menurutku untuk cinta adalah sederhana lagi eksklusif. Emang bisa disatukan kedua istilah itu? Nanti jadinya kontradiktif lagi. Bisalah! Kita menggunakan konsep puritan lagi dinamis-nya Muhammadiyah.


Puritan adalah memurnikan ajaran Islam sehingga kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan Dinamis adalah menjadikan agama Islam sebagai ajaran yang tak lekang oleh waktu, bahkan mampu maju jauh ke depan. Puritan berusaha mengambalikan lagi ke belakang, sedangkan dinamis berusaha membawa ke depan. Nah, nyatanya keduanya bisa disatukan. Padahal depan dan belakang adalah arah yang berlawanan seperti timur dan barat.


Sederhananya cinta adalah sikap naluri atau sering disebut fitrah manusia yang akan datang kepada siapapun. Suatu sifat yang menandakan kelemahan manusia tanpa adanya seorang pedamping. Sehingga, siapapun orangnya pasti akan memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Sudah kugaris bawahi lho. Jadi yang cintanya sesama jenis, ENYAHLAH! Itu nafsu, bukan cinta. You have no power here!!! Dasar YARA!


Saking sederhananya cinta, seseorang akan jatuh cinta dala tempo 6 detik saja. Bahkan menurut penelitian ada yang lebih cepat dari itu. Itulah yang sering dikenal cinta pada padangan pertama.


Dari mata turun ke hati, dari hati naik lagi turunlah air mata. Wait., bukan. Tapi Air mata kegembiraan maksudnya.


Kemudian setelah manusia mendapat kesederhanan cinta. Barulah kita eksklusifk-kan cinta agar membedakan dengan cintanya makhluk lain. Iya, kalau tidak eksklusif sama nanti cinta manusia dengan hewan.


Misal saja ayam jago, yang jika cinta asal langsung mepet-mepet menclok ke babon, atau kucing yang langsung mengejar menggigit leher si betina. Sederhana memang, namun tidak eksklusif.


Itulah kenapa tidak ada salahnya menyamakan orang yang asal “hubungan” demi mengungkapkan cinta tanpa melakukan ikatan pernikahan dengan makhluk-makhluk tadi. Toh sama-sama sederhana banget cintanya.


 Makannya, aku kurang setuju dengan pernyataan Sujiwo Tejo yang mengatakan kalau cinta tidak butuh alasan. Kalau ada alasannya bukan cinta namanya.


Argumen ini kubantah. Jelas, masak cinta manusia disamakan dengan cintanya ayam. Primitif sekali. Ndak bisa manusia mencintai tanpa alasan. Pun, apabila ia cinta pada pandangan pertama yang tanpa alasan, ia harus mencari alasan yang mampu menjawab kenapa ia jatuh cinta.


Bahtahanku bukan sekedar logika perbedaan jago dan lelaki, namun kujawab dengan perkataan baginda Nabi. Lha jelas-jelas nabi memerintahkan untuk memilih wanita berdasarkan empat hal kok. Cantik, harta, keturunan, dan agama. Artinya bagaimanapun caranya cinta haruslah ada alasannya minimal agama, bagus lagi kalau ditambah dari tiga yang lain.


Itulah langkah selanjutnya, eksklusifnya adalah memilih alasan cinta tadi. Lalu setelah dua hal terpenuhi di atas, Itu baru dinamakan cinta ala manusia biasa. Dari sini sudah  berbeda cintanya manusia dan makhluk lain. 


Untuk meng-eksklusif-kan lagi bagaimana? Nikahlah dan jalankan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah  sesuai kehidupan keluarga Nabi. Nanti cinta kalian menjadi super eksklusif.


Paragraf di atas bukan penetitian pribadi maupun pengalaman. Soalnya yang nulis boro-boro nikah lha wong masih jomblo kok.   :v


Jadi, biarkan cinta datang kepada kalian dengan cara yang paling sederhana, namun setelah itu ubahlah menjadi eksklusif dengan tuntunan Rasulullah. Sederhana lagi eksklusif.


Itulah istilah ala kadarnya buatan seorang hamba yang bahkan belum diberikan cinta. Jadi akan terasa lancang apabila lebih jauh lagi menasehati tapi tidak mengamalkannya. Nanti jatuhnya taqulu ma la taf’alun lagi.


Kenapa tiba-tiba menulis tentang cinta padahal yang nulis mendapatkan cinta primitif-pun belum?


Bukan karena apa-apa ya, tapi karena tiba-tiba aja dapet buku yang judulnya “Ya Allah Aku Jatuh Cinta” (belum kubaca, baru 10 halaman udah susah bacanya. Hehe,., jomblo, berandai-andai pula nanti). Buku ini dikasih ustadzah, soale aku juga gak suka beli buku romantis-romantis gini. Mending beli manga. Haha.





Kesimpulannya: Itu, baca judulnya lagi. Judul kubuat sebagai kesimpulan sekaligus persuasifikasi.

Friday, 16 December 2016

Biografi Urwah bin Az-zubair




Oleh: Najmuddin Saifullah
Ia adalah salah satu dari Fuqaha Sab’ah (Tujuh orang ahli Fikih) dari Madinah bersama Sai’d Al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Salamah bin Abdirrahman, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, Sulaiman Bin Yassar.[1]
Nama Lengkapnya adalah Urwah Bin az-Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin abdul-Uzza bin Qushai bin Kilab, Abu Abdillah al-Qarsyi al-Asadi al-Madani. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan tahun 23 H dan wafat pada 93 H.
Guru sekaligus orang yang diriwayatkan haditsnya oleh Urwah adalah: Zubair Bin Awwam (ayahnya), Asma’ (ibunya), A’isyah (bibinya), Ali Bin Abi Thalib, Muhammad bin Maslamah, Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, al-Mughirah bin Syu’bah, Abu Humaid as-Sa’idi, Fatimah binti Qais, Ummu Hani’, Sahl bin abi Hatsmah, Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi, Jabir, al-Hasan, al-Husain, Abu Humaid, Ibnu Abbas, Abu Ayyub al-Anshari, Amr Bin al-Ash, dan Abdullah bin Umar.
Sedangkan, murid yang banyak belajar hadits darinya adalah: Anaknya (Utsman, Abdullah, Hisyam, dan Yahya), Muhammad, Mujahid, Sulaiman bin Yassar, Ibnu Abi Mulaikah, Atha’ bin Abi Rabbah, Abu Salamah bin Abdurrahman, Ibnu Syihab, Shafwan bin Sulaim, Bakr bin Sawadah, Yazid bin Abu Habib, Muhammad bin al-Munkadir, Wahab bin Kaisan, az-Zuhri, Abu Zinad, Shalah bin Kaisan, Abu al-Aswad Muhammad bin Abdirrahman Yatim Urwah, Amr bin Abdillah bin Urwah, dan lain-lain.
Urwah dikenal sebagai orang yang murah hati dikarenakan kegemarannya bersedekah. Ia memeliki sebuah kebun yang terdapat sumur dengan air tawar di dalamnya, lalu apabila tiba masa panen ia mempersilakan orang yang melewati kebunnya untuk mengambil buahnya.
Menurut Ibnu Syaudzab, Urwah membaca seperempat al-Qur’an dan shalat malam setiap harinya. Ia tidak pernah meninggalkan rutinitas tersebut kecuali pada malam ketika kakinya dipotong karena terkena akilah (penyakit yang menggerogoti tubuh). Kisahnya sebagai berikut:
Dikisahkan oleh Hisyam bin Urwah (anak Urwah) bahwa suatu ketika Urwah pergi ke tempat khalifah  al-Walid untuk memenuhi undangan. Ketika menempuh perjalanan menuju tempat khalifah, telapak kaki kirinya terluka dan terkena penyakit akilah[2], sesampainya di tempat khalifah penyakit tersebut semakin menjalar sampai paha dan dipanggillah tabib terbaik untuk menyembuhkannya. Kemudian datang seorang dokter dan berkata aku akan memberimu minuman yang memberi efek samping engkau kehilangan akal. Ia berkata: lakukanlah urusanmu, namun aku tidak mau meminum yang menjadikanku tidak mengenal Tuhanku. Kemudian dipotonglah kaki Urwah sedang ia senantiasa membaca wirid selama proses pemotongan kakinya. Ketika selesai, maka pangkal kaki yang dipotong diberi minyak panas agar lukanya tertutup, dan Urwah tidak sadarkan diri. Itulah malam di mana Urwah tidak membaca seperempat al-Qur’an dan tidak shalat malam.
Ketabahan yang luar biasa ditunjukkan Urwah pasca operasi pemotongan kakinya. ketika itu ia mendapat kabar bahwa anaknya yang bernama Muhammad meninggal dunia dikarenakan ditendang kuda saat bermain di kandang kuda. Saat itu, Ia sangat sabar mengingat telah kehilangan dua hal yang sangat berharga baginya yaitu kaki dan anaknya.Urwah berkata: “Ya Allah, aku mempunyai anak tujuh, Engkau mengambilnya satu dan masih tersisa enam. Aku mempunyai empat bagian tubuh (dua tangan dan dua kaki) Engkau mengambilya satu dan masih tersisa tiga. Jika Engkau mengujiku dengan penyakit, maka aku masih memiliki banyak masa sehat, dan jika Engkau mengambil sesuatu dariku, Engkau masih menyisakannya”. Itulah bukti betapa kesabaran yang luar biasa yang dimiliki oleh Urwah.
Kemudian, dikisahkan oleh Abdullah bin Urwah bahwa ketika Ayahku melihat kakinya yang dipotong dan berkata: sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku tidak pernah menggunakan kaki ini untuk berjalan ke arah maksiat.
Urwah berkata kepada anaknya, Hisyam: tanyalah kepadaku, kemudian ia bertanya tentang suatu hadits, lalu dibukakanlah hadits selama dua hari.
Urwah bin az-Zubair merupakan Ulama sekaligus Tabi’in yang Mulia. Berikut adalah komentar para Ulama tentang diri beliau:
Ibnu Sa’d        : Dia Tsiqah Lelaki Shalih, Tidak pernah terkena fitnah;
Az-Zuhri         : Ia bagaikan Lautan yang tidak pernah kering (ilmunya);
Yahya bun Ayyub: demi Allah kami mempelajari satu bagian dari seribu bagian perkataanya;
Az-Zuhri         : Urwah mencatat manusia dari perkataannya;
Al-Aziz           : tidak ada seorangpun yang lebih tau dari Urwah bin az-Zubair;
Abu Zinad       : ia termasuk empat Ahli Fiqh Madinah bersama Sa’id bin Musayyib, Qabishah bin Dzuaib, dan Abdul Malik bin Marwan;
Yunus              : Urwah adalah Lautan yang tidak akan keruh walaupun ditimba sebanyak-banyaknya;
Ibnu Uyainah  : orang-orang mengetahui hadits A’isyah dari al-Qasim, Urwah, dan Amrah;
Humaid bin Abdurrahman: aku melihat sahabat bertanya kepada Urwah;
Ali bin al-Mubarak dari Hissyam bin Urwah berkata bahwa ayahnya puasa setahun penuh kecuali hari Idul Fitri dan Idul adha, dan ia meninggal ketika berpuasa
Urwah berkata: berapa banyak kata hina kupikul, maka akan aku warisi dengan kesabaran yang panjang
Hisyam bin Urwah: tidaklah aku melihat seorang pun dari orang yang suka mencela kecuali ia menyebut Urwah dengan baik
Khalifah dan yang lain berkata: Urwah dilahirkan pada tahun 23 H
Mush’ab az-Zubair berkata: ia dilahirkan pada tahun kedua pemerintahan Utsman, ia dilahirkan rahun 29 H
Ibnu al-Madini berkata Urwah, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan Ubaidillah bin Abdullah wafat pada tahun 92 H
Khalifah (Jama’ah) berkata bahwa Urwah wafat pada tahun 93 H
Ibnu Sa’ad dan jama’ah berkata pada tahun ke-empat
Ibnu ma’in berkata: wafat tahun 94 H Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah, Ibnu al-Musayyab, dan Ali bin al-Husain, tahun ini dikatakan sebagai tahun Fuqaha
Yahya bin Bukair mengatakan ia wafat pada tahun 95 H
Ibnu Numayyar: orang yang paling zuhud di dunia adalah keluaganya
Khalifah Al-Walid
Hisyam berkata bahwa Urwah meninggal dalam keadaan berpuasa, keluarganya meminta Urwah berbuka namun ia tidak berbuka, dan justru berkata aku ingin berbuka bersama para bidadari.

Sumber: Tadzhib at-tahdzib dan Siyar a’lam wa nubala’


[1] Muhammad Bin Mathar az-Zahrani, Ilmu Rijal Nash’atuhu wa Tathawwuruhu, (Madinah: Dar al-Khudhairi), hlm. 50.
[2] Akilah adalah penyakit yang menggeroogoti bagian tubuh